Perjuangan hati di tengah pandemi


Perjuangan hati di tengah pandemi

“Aduh, kok gini si? Ya Allah…..emang corona ngeribetin banget. Ini lagi kuliah kok tiba-tiba ngelag gak karuan? Ya Ampuunn. Aku kangen kampus”

Sahut Mush'ab, seorang mahasiswa tingkat dua dari kampus kenamaan di Bandung. Semenjak Pandemi Corona bulan Maret lalu membuat ia harus kembali ke kampung halamannya, di pinggiran kabupaten Bekasi, Muara Gembong.  Baru saja beberapa bulan Mush'ab merasakan hiruk pikuk kampus dan mulai menikmatinya, Qadarullah Allah munculkan pandemi di masa penyesuaiannya.

“Aduh, panas banget lagi. Siang-siang ginii kuliah online, gaada sinyal pula,. Mana sanggup ?” sembari memukul pelan pahanya, tanda jengkel.

“Kenapa ya ? kok setiap kuliah online atau kelas online lain, susah banget nyambung tiap diluar atau di kamar ? Allah ga ridho kali ya ? Duh, apaan sih ini ?” gumam Mush'ab. Wajar, semenjak hari pertama PJJ, jaringan dirumahnya selalu saja tidak mendukung untuk kuliah online, lain cerita jika sudah masuk ke ranah sosial media, lancar jaya.

“Ah, kapan ya corona selesai ? Banyak banget yang gabisa dilakuin kalo dirumah aja mah, hadeh”
“Mush'ab, dimanaa ? Lagi ngapain ? “ Seru seorang perempuan dari dalam rumahnya.
“Diluar maa, lagi kuliah onlinee,” balas Mush'ab
“Eh, anak mama lagi diluar ternyata ya. Gimana? Aman kuliahnya?” ucap ibunya sembari berjalan keluar rumah.
“Hadeh, ribet banget ma…..ini jaringannya dari tadi putus nyambung….ampunn dah”
“Wah gituu ya, yang sabar yang sabar. Lagi puasa gaboleh marah-marah”
“hemm iyaa ma….huff” sambil mengehela napas, diikuti dengan semilir angin ringan melwati dirinya.
“Eh tapi mar, mama tuh seneng lho. Corona gini, kamu jadi dirumah lagi. Lagian…..udah 3 bulan kamu gak pulang pulang setelah semester satu. Sibuuk banget di sana” ibunya berkata sambil tersenyum lebar di awal, diikuti dengan wajah agak murung saat berkata bahwa Mush'ab sibuk di kampus.
“Hah ? Seneng gimana ma ? Ya ampun, aku ribet gini kuliah, mama malah seneng...gimana sih hehe” timpal Mush'ab sembari tersenyum kecil, seakan tersipu malu bahwa  kenyataannya dia memang jarang pulang sebelum corona menyerang.
“Lah, iya dong. Jelas seneng. Semenjak ayah kamu pergi, kan mama cuma sendirian dirumah. Apa-apa sendiri. Ya paling kalau sore bisa main sama ibu-ibu di sekitar rumah. Tapi itu kan dulu, sebelum corona. Coba kalau pas Corona kamu masih di kosan ? Hadeh, ga kepikiran lagi deh.” 

Mush'ab terdiam….

Ayah Mush'ab memang sudah meninggal 3 tahun lalu, karena penyakit. Semenjak ditinggal Ayahnya, suasana rumah memang lebih sepi dibandingkan sebelumnya. Memang, saat ayahnya masih hidup, suasana rumah hanya ramai saat sore menuju malam karena ayahnya kerja dan Mush'ab sekolah. Kini, kondisi rumah terasa lebih sepi. Jarak rumah antar warga tidak berdempetan layaknya di perkotaan, tetangga di sekitar rumah Mush'ab memiliki jarak sehingga suasana sekitar rumah pun tidak ramai layaknya di kota. 



“Mama tuh ya, seneng banget pokoknya kamu bisa pulang lagi. Udah gitu mah, lama ya kan. Sekitar sebulan kamu udah pulang. Dulu mah boro-boro, harus nunggu libur semester baru kamu mau pulang lama. Ngehubungin mama juga kalau minta uang mingguan, ya kan ?”
“ehe, iya ma….”  balas Mush'ab sambil nyengir kesemsem karena apa yang dikatakan mamanya benar semua.
“Kalau aja gak corona nih ya, bisa bisa mama Ramadhan sendirian nih tahun ini, saur sendiri, buka sendiri, terus…...tarawih sendiri, bayangin deh. Sepi banget kan.”

Memang, kebijakan pemerintah terkait Corona ini sangat ketat, segala hal yang biasanya bisa dilakukan bersama-sama, sekarang diharuskan untuk dikerjakan di rumah saja, sekalipun itu ibadah yang sifatnya berjamaah. Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang mendukung pelaksanaan ibadah ini.



“emm….iya ma...bener juga” Mush'ab menjawab dan matanya hilang fokus karena seketika terpikir perkataan mamanya.

“Ah, yaudah deh kalau gitu. Maafin ya mama ganggu kuliahnya. Dicek lagi gih, siapa tau udah bisa nyambung itu koneksinya” setelah mengusap rambut anaknya, wanita tersebut kembali masuk ke dalam rumah.

“Eh, iya ma. Gapapa kok” Kembali Mush'ab menjawab.

Setelah ibunya masuk kedalam. Mush'ab terdiam, pikirannya yang daritadi kesal karena koneksi tidak tersambung, sekarang menjadi sedih karena tanpa sadar, perkataan ibunya membuat hati Mush'ab terketuk.

“Iya juga ya, kalo bukan gara-gara Corona, aku belum tentu bisa dirumah lama. Mama juga sendirian dirumah, apalagi kalau Ramadhan kan emang lebih enak bareng keluarga” Gumam Mush'ab sembari melamun melihat pemandangan hijau terbuka di seberang rumahnya.

Bukan hanya hari ini Mush'ab mengeluh karena Corona, semenjak seminggu pertama ia dikarantina, story whatsapp nya selalu saja mengeluh terhadap keadaan ini. Mulai dari bosan karena dirumah saja, kesal karena tugas menumpuk, jengkel karena koneksi tak memadai, hingga karena tidak bisa buka bersama teman lamanya. Mush'ab terlalu sering mengeluh, salah satu faktor juga karena ia tak lagi bersama dengan teman ngajinya. Selama dirumah, Mush'ab jarang sekali mendapat nasihat-nasihat baik dari orang terdekat ataupun ustadz nya.

Dalam lamunannya, Mush'ab mendengar suara yang muncul dari pikirannya sendiri 

Laa in syakartum

Sontak, Mush'ab tersadar dan berpikir.

“Hah ? Kayak ada yang ngomong….Laa in syakartum ? hemm apa ya ? Ah ! iya. Ayat Al Quran kan itu, duhhh pertanda apa nih ?” ia ambil gawainya, dan dibuka aplikasi Al Quran beserta terjemahannya. Sampai lah ia pada ayat yang barusan ia dengar dalam lamunan.



“Laa in syakartum, laa azidanakum…...hemm artinya…..sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti kami akan menambahkan nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmatku, sungguh Azab ku sangatlah pedih”
jleb…..
Lagi lagi Mush'ab terdiam. Dialihkan pandangannya dari gawai, menuju ke arah langit. Badannya bergetar, bukan karena kedinginan….namun karena ia kaget. Ia yakin, pasti ada maksud dari kejadian tersebut.
“Ya Allah, ini maksudnya apa ? Apa aku kebanyakan ngeluh ya ? Ya Allah maafin, padahal bulan puasa harusnya muhasabah, tapi aku malah ngeluh”
Seketika, tangan Mush'ab langsung mengambil alih laptopnya, dibukanya microsoft word dan langsung ia mengetik nikmat yang ia dapatkan selama Corona. Sampai ia menyelesaikan tulisannya.

“Ah, selesai juga. Wait…….YA ALLAH.. BANYAK JUGA INI”

Mush'ab tersadar, bahwa selama ini ia terlalu larut dalam energi negatif karena pandemi ini. Sampai-sampai ia lupa, bahwa perjuangannya selama dirumah aja tidak seberat orang-orang diluar sana yang harus menghidupi, mencari rezeki, bahkan mencari mati demi selesainya pandemi di Indonesia ini. Hampir sebulan Mush'ab di karantina, banyak yang bisa ia dapatkan walau dengan jeleknya koneksi data selulernya. Dalam karantina ia masih bisa menuntut ilmu, tidak seperti kebanyakan orang lainnya yang bahkan kuliah online, laptop atau gawai saja tak punya. Dalam karantina ia masih bisa makan dengan tenang, tidak sperti kebanyakan orang diluar sana, yang bahkan untuk makan saja harus bertaruh kesehatan di tengah pandemi. 

“Yaa Allah…...ga bersyuukur bangett jadi orang. Astaghfirullah astaghfirullah”

Ternyata, di tengah pandemi ini , masih banyak hal positif yang bisa ia dapatkan. Ia teringat kembali, bahwa ternyata baik buruknya sesuatu tergantung darimana ia melihatnya. Orang biasa menyebutnya “Persepsi” atau “Sudut Pandang”.

“Yah, yaudahlah ya. Sekarang mah harus bersyukur. Mama seneng karena ditemenin, daku seneng soale saur ada yang buatin….teruss….”

“Assalamualaikum, dek Mush'ab !” 

belum selesai ia bicara pada diri sendiri, seorang berbaju hijau bertuliskan “linmas” di saku kanan memanggil Mush'ab dari depan rumahnya dengan menaruh satu kaki dibawah guna menyeimbangkan posisi bersepeda nya.

“Eh, iyaa pak. Waalaikumussalam. Ada apa ?” jawab Mush'ab sambil berjalan mendatanginya

“Ini lho, ada titipan dari pak RW buat ibumu. Katanya sih, bantuan sosial pemerintah” disodorkan amplop putih dengan cap bertuliskan “Bantuan Sosial” di depannya.



“Lha ? Bansos apa pak ?” tanya Mush'ab kebingungan
“Udah ini diambil dulu aja, tolong titip ke ibu ya, aku mau ngiter lagi ini ngasih buat yang lain”
“Ehh iyaiya. Makasih banyakk pak. Hati hatii yaa” jawab Mush'ab sambil mengambil amplop tersebut


“Iya sama sama dek”

Bergegas lah Mush'ab masuk ke dalam rumah. sembari berteriak memanggil 
“Maaa…..”
“Ada apaa mar ? kok teriak-teriak gituu sih ?”
“Ehehe, iya maapin. Ini aku ada titipan dari pak hansip amanah dari pak RT….katanya sih bantuan sosial”
“Hah ? Bantuan sosial ? Lah, mamamu ini masih ada rezeki lho alhamdulillah walau ayah udah gaada. Tabungan masih banyak, terus uang pensiun ayahmu kan masih dikirim tiap bulan. Alhamdulillah bangett”
“Wah, iya gitu ma? Alhamdulillahh deh ya. Terus, gimana dong “
“Yaudah, kalau gitu, kita ambil aja satu pertiga nya, terus kita kasih lagi ke yang membutuhkan. Mama denger, itu keluarga pak Raden tetangga kita belum ada pemasukan lagi sekitar seminggu terakhir ini, boleh lah disumbangin kesana ya” 


“Wah, siap ma. Laksanakan”

Ternyata, di balik pandemi ini, Mush'ab masih bisa mendapatkan banyak hikmah setelah merenung dan mendapatkan petunjuk dari Allah. Dia yakin, bahwa pandemi ini InsyaAllah akan diangkat sesegera mungkin dan negaranya pasti bisa menghadapi musibah ini dengan segera. Bismillah...







Komentar

Postingan Populer