Netizen Selalu Benar
Sore itu di bulan Ramadhan di tengah pandemi, ia sedang scrolling instagram sambil rebahan setelah menyelesaikan tugas kuliah online, saat sedang scrolling santai matanya tertuju pada satu postingan yang cukup mengagetkan dari salah seorang selebgram.
Ia baru tahu ternyata selebgram tersebut baru saja hijrah ke agama islam,
hamdalah ia ucap dan langsung saja ia stalking akun tersebut.
*scrolling scrolling*
Terhenti pandangannya pada satu postingan yang membuat ia
mengerenyitkan dahi, kebingungan nampak terlihat pada wajahnya.
“Jangan pernah paksa aku untuk menghapus postingan lama
ku, karena aku mau melakukannya dari hati ku, bukan karena paksaan kalian!”
Langsung saja ia bergegas tap pada kolom komentar
dari postingannya yang lain. Wajar saja, dari kolom pertama sampai terakhir
berisi paksaan yang cukup keras dari para “netizen” yang berisi tentang
paksaan untuk ia menghapus sesegera mungkin postingan instagramnya yang masih
mengumbar aurat.
“WOI JANGAN SOK SOKAN HIJRAH, ITU AURAT LU DIMANA-MANA”
“Katanya hijrah, kok postingannya masih seksi sih.”
“Udah neng, gausah hijrah gitu kalo setengah setengah.”
“Astaghfirullah Ukhti hapus postingan nya sekarang juga, anti mau api neraka menyambar anti ?”
“Katanya hijrah, kok postingannya masih seksi sih.”
“Udah neng, gausah hijrah gitu kalo setengah setengah.”
“Astaghfirullah Ukhti hapus postingan nya sekarang juga, anti mau api neraka menyambar anti ?”
Masih banyak lagi komentar negatif dengan nada yang sama.
Menyerukan kepada kebenaran, merasa ia “paling benar” namun dengan cara yang
mereka yakini “paling benar” pula
“Hadeh, Netizen ada ada aja. Hidayah mah Allah yang datengin.
Kalo mau nyampein kebenaran, caranya harus baik baik dongg. Gak kayak gini”
ucap dirinya dengan jengkel.
Ia periksa lagi postingan
tersebut, ia baca ulang dengan seksama karena merasa kalimat tersebut tidak asing,
iya……kalimat yang cukup singkat namun membuat ia flashback pada masa lalunya
yang kelam.
Kejadian yang terjadi pada 7
tahun lalu.
_____________________________________
“Dekkk ayo sholat ke masjid,” ucap pria paruh baya dari
ruang tamu sembari bergegas menuju masjid dengan pakaian yang cukup rapih.
“Iya iya” *sambil buka hape*
*10 menit berlalu*
“Dek! Kamu ga ke masjid ?!” Pria tersebut teriak cukup keras
kepada pemuda yang sedang tiduran di kasurnya.
“Iyaa tadi mau ke masjid terus pas di kamar mandi aku mau
buang air besar, jadi gak sempet” jawab pemuda tersebut dengan ketus dan
pandangan matanya masih ke hape.
“Halah! Alasan kamu! Mau masuk neraka?!” Sahut ayahnya
dengan nada tinggi.
“Ih Apaan sih ?! Lagian aku juga maunya ke masjid bukan
karena disuruh, tapi karena kemauan sendiri.”
“Mau sampe kapan kamu kayak gini ?! Dari Subuh sampe Isya sholatnya
di rumah mulu. Maghrib doang kamu sholat ke masjid jamaah, itu juga gara-gara
temen kamu kan ?! Gapernah gara-gara kemauan sendiri. Kalo gitu terus, gabakal kamu
sholat di masjid!”
“Dih! Sotau banget sih.”
“Halah, udah lah. Capek ayah ama kamu, punya anak kok gini amat
sih. Diajak buat sholat jamaah susah. Tau gak kamu? Hadits Rasul yang bilang
kalau lelaki ga sholat di masjid, mendingan dibakar aja sama rumah-rumahnya!”
Ia ucap kata tersebut sembari menutup pintu kamar anaknya dengan kencang
.
*Duar*
“Apaan sih, bakar bakar segala.
Emang mau apa orang kalau dipaksa-paksa gitu? Gamau lah, lagian gua udah gede
juga,” Gerutu sang pemuda sambil memainkan hapenya
___________________________________________-
Ia seka air mata yang keluar dari matanya, teringat kejadian
yang cukup menyedihkan baginya. Pernyataan dari selebgram tersebut membuat
pikiran sang pemuda pergi jauh pada masa lalunya. Masa dimana ia masih belum
mengenal islam dengan utuh, masa dimana sholat masih bolong bolong, masa dimana
ia masih pacaran dengan teman sebayanya, dan masa dimana ia tidak pernah akur
dengan ayahnya.
Semenjak kejadian tersebut, hubungan ia dengan ayahnya tidak
pernah membaik. Ayahnya yang memiliki watak keras terhadapnya terus saja keras
dalam menyampaikan hal yang baik, begitu pula dengan sang anak di masa remajanya,
merasa bahwa harga diri perlu dipertahankan hingga ia terus keras kepala terhadap
kalimat-kalimat yang ayahnya lontarkan.
Ia tidak pernah melakukan apa
yang ayahnya katakan, baik itu sholat berjamaah di masjid ataupun membaca al
quran di pagi hari. Sifatnya yang egois pada saat itu membuat ia terus melakukan
hal berkebalikan dengan sang ayah, karena ia merasa bahwa prinsip itu tidak
bisa dipaksakan, dan ia berusaha membuktikan pada ayahnya bahwa ia benar,
prinsip tidak dipaksakan.
“Astaghfirullahaladzim” ucap sang
pemuda karena mengingat kejadian tersebut.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan hingga sampai ia
pada satu kejadian yang membuatnya sedih dan merasa bersalah. Ayahnya meninggal
pada tahun tersebut karena kecelakaan kerja, tepat 5 bulan semenjak hubungannya
dengan sang ayah kian memburuk.
Air mata berurai kencang dari matanya begitu mendengar
kabar buruk tersebut. Perasaan bersalah terus menghantui saat ia bantu mengurus
jenazah ayahnya. Tanah kuburan telah tertutup, dan papan nama kuburan telah
terpasang.
“Yah, maafin aku ya…..” ucap
sang anak didepan kuburan Ayahnya sambil memegang papan nama, air mata mengalir
deras dan nafasnya sesenggukan tidak sanggup meninggalkan tempat terakhir ayahnya
____________________________________________
Sang pemuda memang benar, prinsip
tidak bisa dipaksakan. Tapi pembuktiannya pada sang ayah, membuat ia merasa
bersalah sampai sekarang. Semenjak kejadian tersebut, ia tidak pernah bolos
untuk shalat berjamaah di masjid sampai sekarang. Kegiatannya diisi dengan hal-hal
keislaman, ia mulai intens untuk menimba ilmu agama dan memperdalamnya bersamaan
dengan kegiatan akademiknya yang lain.
Dari kejadian pahit tersebut,
sang pemuda mengambil banyak hikmah. Ia sadar bahwa segala hal yang baik, haruslah
disampaikan dengan baik pula. Tidak pernah ia menyalahkan ayahnya yang berlaku
keras, namun ia merasa bersalah karena hatinya lah yang keras untuk menerima
kebenaran, hingga Allah yang melembutkan hatinya dengan mengambil nyawa ayahnya.
Tiap orang memiliki kadar
penerimaan yang berbeda. Ada yang menerima hidayah Allah dengan jalan keras, ada
yang lembut. Ada yang menerima hidayah di saat sedang marah-marahnya layaknya Umar
bin Khattab, ada pula yang menerima hidayah saat sedang tenang seperti Abu
Bakar Ash Shiddiq. Kita tidak pernah bisa memaksa orang untuk menerima hidayah
dari kita, karena Allah yang memberi hidayah. Kita hanya bisa berusaha
menyampaikan kebaikan dengan cara yang baik dan sesuai dengan siapa yang kita
sampaikan.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” An-Nahl : 125
Sang selebgram tidaklah
salah karena tidak bersegera menghapus postingannya, mungkin ia memiliki
pemikiran bahwa segala hal yang berasal dari hati, akan lebih sempurna. Para netizen
juga “selalu benar” menurut mereka karena mereka hanya berusaha untuk menyampaikan kebenaran dengan cara mereka sendiri.
Mungkin dari kita ada yang pernah
berada pada posisi sang selebgram, atau bahkan pernah berada di posisi para “netizen yang selalu benar”. Tiap orang hanya melakukan berdasarkan
apa yang ia ketahui, maka tugas kita sebagai manusia hanya bisa berusaha untuk
melakukan sebaik-baiknya amal “Ahsanu amala” dengan memperbanyak ilmu.
Semoga Allah senantiasa memberi
kita kesempatan untuk memperbaiki diri dan menyampaikan kebaikan, agar Allah
Ridho pada kita. Aaamiiin ya Rabb.
-Bandung, 19 Mei 2020 / 26 Ramadhan 1442 H
MAN GUE MERINDING WOI BACANYA. Ini kalo fakta beneran, banyak dialami remaja2 yg puber dan lagi seru2nya main sm temen.
BalasHapuskapan2 nulis cara org tua yg asik buat ngajak soleh anaknya ya, soalnya kalo batu sama batu bakal bikin percikan ~
Wihh Alhamdulillahh. Nuhuun pisann yaaww bang teh atau siapapun inii. Insyaallah jika bisaa hehee :D
HapusMaa syaaAllah tabarakallaah. Terus menginspirasi, Lukman!
BalasHapusAlhamdulillahh, hatur nuhunn tehh laee :D
HapusMantap anda!
BalasHapusBaguuss !
BalasHapusKata "kepoi" keknya kurang pas. Meskipun di gaya bahasa yg santai/ringan. Mending pake kata "cari tahu" sekalian.
Wah siapp, terimakasih banyakk masukannya hehe :D
Hapus