Muslim Ramah, bukan Marah

 5 tahun lalu, tepatnya pada tahun 2017 menjadi Ramadhan yang cukup mengesankan untukku. Aku bersama teman-temanku memutuskan untuk memulai itikaf kami selama 10 hari terakhir di masjid yang cukup dekat dengan sekolah. Suasana yang nyaman, membuat kami semangat dan yakin bahwa 10 hari terakhir ini akan Allah berikan hikmah yang banyak dan pelajaran didalamnya. Benar saja, hari itu aku bertemu dengan seorang muslim yang sifatnya jarang kutemui, namun menjadi cita-cita tersendiri agar bisa sepertinya 


Ustadz Angka namanya. Seorang pria paruh baya yang memiliki jenggot lebat, dengan badan yang cukup besar beliau hadir sebagai peserta itikaf Ramadhan kala itu. Beliau merupakan pengurus lembaga dakwah didaerah ku dan sering dipanggil menjadi penceramah di beberapa tempat. Walau sudah tua, ghirahnya dalam berdakwah boleh diadu dengan mereka yang masih muda. 


Hampir setiap hari, setelah sahur beliau pergi meninggalkan masjid karena ada amanah untuk berceramah di tempat lain. Siang harinya ia mengajak aku dan teman-temanku belajar bagaimana caranya sholat khusyu (walau sampai sekarang masih berusaha). Semangat beliau begitu besar. 


Hal yang aku senangi (juga temanku) adalah bagaimana cara ia bersikap. Ia bisa menempatkan segala hal sesuai tempatnya. Saat bercanda, ia tertawa bersama kami...ocehannya sangat lucu bagi semua kalangan, membuat ia disenangi semua orang disana. Setiap luang waktu, ia selalu mengajakku bercanda....ada ada saja kelakuannya yang membuatku tertawa. Ramah dan riang sekali orangnya.


Namun, saat ia ceramah di depan...tak terhitung berapa kali ia menitikkan air mata, yang juga membuat para jamaah menangis. Ialah orang pertama yang menangis saat ceramah, ketakutannya kepada azab Allah, kepada kematian yang suul khatimah, kepada hidayah Allah yang sewaktu-waktu bisa dicabut dari diri ini... membuat kami juga menangis tersedu. Bahkan tak jarang, ia beralih dari canda tawanya didepan kami....tiba-tiba ia menangis karena rasa takutnya pada Allah.


5 tahun berlalu, namun masih jelas bagaimana dirinya membawakan ceramah dengan penuh semangat dan canda tawa, namun berubah seketika saat azab Allah dibahas, hanya air mata deras keluar dari nya. Muslim panutan bagiku, ramah saat bermuamalah, tak lengah saat beribadah, penuh ghirah saat berdakwah.


Inilah muslim yang kuimpikan. Bercanda karena dibutuhkan, menangis karena kebutuhan. Hatinya tak mati karena tawa, namun membuat semua orang bahagia. Muslim yang ramah-ramah, bukan yang marah-marah


Lagi-lagi kukatakan....membuat orang bahagia, juga pahala lho :)


Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia." (HR Thabrani dan Daruquthni, dari Jabir RA).


Komentar

Postingan Populer