Ciremai, Tragedi yang Dicintai

Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat itu membuatku tertunduk dengan senyum saat turun. Bagaimana tidak ? Ragaku yang penuh dengan semangat kala itu, ternyata ditaklukan olehnya dengan mudah. 


Cerita ini bermula di 2022 lalu. Ini pengalaman pertama bagiku untuk naik gunung, di Jalur paling Curam, Linggajati namanya, di gunung tertinggi di Jawa Barat. Jika yang lain bilang ia berdiri dengan angkuh, aku akan menyebutnya berdiri dengan penuh kebijaksananaan. Gunung yang memberikan pelajaran, bagi siapapun yang mencari dan meniti di jalan yang ia tempuh.


Quartal pertama pendakian, aku tertawa dan bicara "kan udah latihan, masa gak bisa ?" Dengan senyum yang menganga, aku bangga.

Quartal kedua pendakian  aku menjadi diam, karena kesal. Kenapa lelah ? Katanya mudah ?


Singkat cerita kita sampai di pos Batu Lingga tempat terakhir pendakian, di hari pertama. Bangga rasanya, bisa sampai di touchpoint pendakian. 


Di dalam tenda kecil, ditemani sup hangat dan diselimuti jaket tebal, aku lebih rendah hati dan kusampaikan pada diri "Pelan-pelan, man. Ambil hikmahnya" Selusur angin menemani malam hari yang syahdu dan mengigit.


Hari kedua pun tiba, dini hari dimulai pendakian agar sampai pada puncak Ciremai. Melewati embun pagi, dan banyak rerumputan tinggi, aku mengalami kekesalan di beberapa menit sebelum sampai. Semua temanku berkata "5 menit lagi sampe,man!" Tapi itu mereka sampaikan 30 menit yang lalu. Mana puncak yang katanya dicintai ?


Undakan batu satu persatu kuinjak dengan "berusaha sabar" Hingga saat sinar mentari hadir muncul, aku pun sampai pada puncak tertinggi.


Kulihat di Barat, dan kukatakan pada semesta "Alhamdulillaaahh" sembari menyaksikan pemandangan kota kuningan di bawah yang indah dilihat. Kawanan awan itu seakan-akan berbicara padaku "gimana ? Asik kan ?"


Samudera Awan di puncak (bersama penampakan lutung)

Ya ! Asik sekali !


Setelah menikmati sarapan kami bersantai hingga menjelang siang. Kepulangan kami lebih mudah, dibandingkan perjalanan hari pertama.


Aku berlari-lari dengan kencang menikmati turunan ciremai yang landai sembari tertawa. "Oh ini nikmatnya turun puncak"

Satu persatu undakan batu yang kemarin "mengejek" sekarang "kuejek" balik dengan riang gembira.


Namun aku lupa, ini masih Jalur Linggajati, jalur tercuram di Ciremai. Hingga itu terjadi, kakiku terkilir di quartal kedua turun gunung.


Saat-saat yang kubenci, lemah sekali diri ini. Bukannya bagagia, malah menjadi beban bagi yang lain.


Sembari menggendong carrier (yang akhirnya kuserahkan pada temanku) dengan kaki dibalut aku berkata dalam diri "udah ah, gamau naik gunung lagi. Sakit ternyata"





Lelah, kesal, sakit, bercampur menjadi satu. Hingga temanku berkata "baru kali ini gua liat lu ngeluh, man"


Bagaimana tidak ? Ciremai ini menyebalkan. Pengalaman pertamaku dibuatnya menjadi tragedi.


Begitu sampai dirumah, kakiku masih bengkak. Dalam sholatku yang "ribet" ini.....Ciremai seakan-akan berkata padaku "makannya, hati-hati kalau lagi jalan. Ambil hikmahnya!" 


Menikmati kaki di perban saat turun Ciremai (bersama abang-abangan)





Setahun Kemudian

Hari ini, aku kembali ke Ciremai tapi bukan untuk mendaki, ada urusan penting yang lebih dari sekedar mendaki.


Namun, hasil yang kudapat juga sama seperti saat mendaki. Aku disuruh mengambil hikmah lebih dalam dari Ciremai. Entah, ada apa dengan aku dan Ciremai ? Kenapa selalu bertabur luka ?


Lalu jika ditanya kembali, apakah aku akan kembali ke Ciremai ? Jawabku, ya Pasti ! Tapi, untuk saat ini, mari sembuhkan luka dan memikirkan dengan lebih matang. Karena Ciremai, harus lebih dari siap.


_______________

-Bandung 25/9/2023

Komentar

Postingan Populer